Tuesday, October 28, 2008

Berawal dari ke-bete-an saya karena terjebak macet di sepanjang jalan Cihampelas akhir pekan lalu, saya iseng melihat-lihat sekeliling dan menemukan sebuah lampu nama sebuah outlet “Parijs Van Java”. Hhmmm….pikiran saya langsung melayang pada sejarah nama tersebut. Setahu saya, julukan Parijs Van Java yang diberikan kepada Kota Bandung dulu sejarahnya berasal dari Jalan Braga yang ‘disulap’ oleh beberapa orang Belanda (saya lupa pastinya siapa) menjadi daerah yang mirip sekali dengan kota Paris jaman itu. Entah apakah mereka saat itu sudah dapat meramalkan situasi Bandung puluhan tahun selanjutnya atau tidak, namun coba lihat kota Bandung sekarang ini. Siapa yang tidak menempatkan kota ini sebagai salah satu kota tujuan wisata belanja fashion? Lihat puluhan atau bahkan ratusan factory outlet, distro, butik, clothing, dan sebagainya yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Bandung, kota tempat saya lahir dan besar telah tumbuh menjadi benar-benar Parijs Van Java (Kota Paris di Pulau Jawa). Kota yang menjadi ‘kiblat’ dalam trend fashion di Indonesia, kota yang menjadi surga belanja bagi siapa saja.

Dengan jiwa sok “analisis” saya, yah daripada bĂȘte juga diem-dieman lagi macet, saya mulai membuka wacana tersebut dengan teman saya yang sedang konsentrasi menyetir. Tiba-tiba teman saya berkomentar “Kamu sadar nggak, waktu kita kecil kan ada satu merek kaos yang booming banget, asli dari Bandung tapi udah menasional.”. Saya coba menebaknya, mengingatnya, namun tidak berhasil. Have no idea at all. Sampai dia menyebutkan sebuah brand yang membuat saya berteriak “OH ITUHH!!”. Hmmm…maaf jika tidak bisa saya sebutkan brand tersebut disini. Tapi saya jadi tertarik menganalisa perkembangan brand tersebut.

Dulu saat saya kecil, brand tersebut sangat booming. Anak gaul Bandung jangan ngaku anak gaul kalau tidak pakai (setidaknya punya) kaos yang brandnya diambil berdasarkan singkatan jalan dan no rumah tempat produksinya tersebut. Dulu, brand kaos itu (sebutlah kaos X) benar-benar menjadi “icon” kota Bandung, dan kami saat itu bangga juga memiliki brand tersebut. Tapi itu dulu! Sekarang? Tim saya di Creasion pernah melakukan riset mengenai brand tersebut, dan hasilnya sungguh sangat menyedihkan. Top Of Mind sudah pasti bukan kaos X tersebut. Brand Recall? Tidak ada juga dari sekian banyak brand yang disebutkan oleh responden. Bahkan asosiasi yang tercipta di benak konsumen justru sangat mengkhawatirkan. Kuno, menjadi isu utama yang terbentuk. Waduh, gawat juga tuh kalau mau tetap bertahan kan?.

Walah, kenapa ya brand sebesar itu bisa “tenggelam” sedemikian rupa sampai-sampai kita tidak mendengar gaungnya sama sekali? Jika kita ingat-ingat juga, ada beberapa brand produk local maupun nasional yang ‘menghilang’ sekarang ini. Padahal pada masanya, mereka cukup mempunyai nama dan merajai pasar di kategori produknya masing-masing. Saya sih menilai ada beberapa hal yang membuat perusahaan-perusahaan itu bisa ‘tenggelam’ :

1. Terlena

Kesuksesan memang melenakan. Menjadi brand besar di masa lalu membuat beberapa brand yang besar dan merebut pasar yang cukup besar menjadi merasa bahwa kesuksesan tersebut akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Bahwa roda akan selalu berputar mungkin tidak mereka ingat di saat jaya. Menikmati dan menjalankan yang ada tanpa waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa datang membuat proses pembaruan, peningkatan mutu, inovasi, dan sebagainya menjadi tidak dilakukan. Jangan pernah terlena! Itu kunci satu-satunya.

2. Over Percaya Diri

Nama besar dan kesuksesan juga bisa membuat sebuah perusahaan menjadi over percaya diri (PD). Merasa bahwa keberhasilan mereka saat itu adalah hasil dari kerja keras dan kepandaian mereka bisa menciptakan perasaan optimisme yang terlalau berlebihan. Optimis memang diperlukan dalam menjalankan sebuah bisnis, namun jika kita terlalu percaya diri tentu akan memberikan dampak yang kurang baik bagi kelangsungan perusahaan itu sendiri. Ini akan memperkecil peluang untuk mendengarkan oranglain dan kemungkinan kerjasama dengan pihak lain yang mungkin saja dapat memberikan masukan bagi perusahaan.

3. No Insight

Tahu kenapa kita harus mengedepankan riset sebagai media pencarian data dan fakta? Tahu mengapa konsumen menjadi responden utama dalam proses riset yang dilakukan perusahaan? Karena dengan riset kita bisa mengetahui banyak hal yang terjadi di lapangan yang bahkan tidak terduga oleh kita sekalipun. Karena konsumen adalah pihak yang menggunakan produk kita, pihak yang menentukan apakah produk kita cukup menarik bagi mereka untuk dibeli. Bagaimanapun juga, saat kita tidak mengetahui apa yang target market kita butuhkan, inginkan dan harapkan, saat itu juga kita harus siap kehilangan mereka. Konsumen saat ini lebih kompleks needs, wants, dan expectation-nya, tugas perusahaan untuk terus memantau dan memenuhinya. Nah bagaimana kita bisa mengetahuinya jika kita tidak pernah meriset mereka?

4. Unfocus

Pelebaran sayap, extention, atau apalah namanya, memang menjadi incaran para brand besar yang sudah sukses. Bukan sebuah strategi bisnis yang salah memang, namun akan jadi masalah jika perusahaaan ternyata belum terlalu siap. Ini malah akan menyebabkan perusahaan tidak focus sehingga arahnya tidak jelas. Membingungkan konsumen bisa menjadi efek yang dihasilkan oleh ketidakfokusan perusahaan dalam menghandle brand dan produknya. Jika konsuemn sudah bingung, maka mereka akan lari ke produk lain yang dianggap lebih focus dan jelas.

Nah, jika kita lihat sebenarnya sayang sekali kan jika factor-faktor tersebut justru malah meruntuhkan kejayaan perusahaan yang tadinya besar di pasar. Makanya…hai para pengusaha yang sedang di atas angina (yang tidak di atas angin juga), jangan pernah melakukan hal-hal di atas ya! Waspadalah!

sumber: CreasionBrand